Inilah kata-kata Fidel Castro dalam pledoi pembelaannya yang terkenal, History Will Absolve Me, yang menjelaskan mengapa rakyat Kuba sangat marah dan membenci kediktatoran Fulgencio Batista:
Negeri miskin! suatu pagi rakyat terbangun kecewa; di bawah naungan malam, ketika rakyat sedang tidur, hantu dari masa lalu telah bersekongkol dan meringkus rakyat dengan (mengikat) tangan, kaki, dan lehernya. Cengkeraman itu, dengan cakarnya yang akrab: rahangnya, sabitnya yang mematikan, sepatu bot-nya. Tidak; itu bukan mimpi. Ini adalah kenyataan mengerikan dan menyedikan: seorang pria bernama Fulgencio Batista telah melakukan kejahatan mengerikan dan tidak pernah diharapkan.
Hari itu, 10 Maret 1952, tiga bulan menjelang pemilu, Batista melancarkan kudetanya yang kedua kali. Batista, seorang tentara pro-Amerika, menggunakan ‘cara menumpahkan darah’ untuk merebut kekuasaan. Padahal, bagi sebagian besar rakyat Kuba, pemilu itu sangat diharapkan melahirkan pemimpin yang bisa membawa Kuba ke jalan merdeka, demokratis dan berkeadilan sosial.
Kudeta itulah yang membuat Fidel Castro, seorang mahasiswa hukum di Universitas Havana, mengorganisir perlawanan bersenjata dan menyerbu Barak militer Moncada tanggal 26 Juli 1953.
Kudeta pula yang membuat marah seorang mahasiswa teknik kimia. Namanya Vilma Espín. Dia adalah salah satu perempuan Kuba yang terjun dalam Revolusi Kuba.
Keluarga Terdidik
Vilma lahir di kota Santiago de Cuba, kota terbesar kedua di Kuba setelah Havana, pada 7 April 1930. Ayahnya, Jose Espín, adalah seorang pengacara keluarga kaya. Sedangkan ibunya, Margarita Guillois, sangat dipengaruhi tradisi Perancis.
Berkat status keluarganya, Vilma kecil bisa menikmati banyak hal: pendidikan, seni, dan olahraga. Untuk urusan seni, ia belajar musik, menyanyi, melukis dan balet. Namun, untuk pendidikannya, ia jatuh cinta pada ilmu kimia. Tak heran, ia pun memilih jurusan teknik kimia di Universitas Oriente.
Namun, semasa di Universitas Oriente, Vilma sibuk dengan banyak kegiatan. Ia adalah kapten tim Volley di kampusnya. Ia juga sempat terlibat kelompok paduan suara.
Pada saat ia kuliah, Batista melakukan kudeta. Mahasiswa menolak kudeta itu. Saat itu, Vilma sudah ikut dalam aksi-aksi protes menentang kudeta. Sejak itu, ia mulai bersentuhan dengan gerakan politik. Ia berkenalan dengan seorang aktivis kiri bernama Frank País.
Saat itu, sebagai respon terhadap kudeta Batista, Frank País membentuk organisasi bernama Acción Revolucionaria Oriental (Eastern Revolutionary Action). Vilma bergabung dengan organisasi ini. Selain menggelar aksi-aksi anti-batista, organisasi ini juga menciptakan sel-sel untuk menyiapkan perlawanan bersenjata terhadap Batista. Belakangan organisasi ini melebur dalam ‘Gerakan 26 Juli’-nya Fidel Castro.
Yang menarik, kendati orang tuanya terbilang ‘kaya’, tetapi pintu rumahnya selalu terbuka bagi kaum pejuang. Saat kota Santiago kebanjiran imigran dari Haiti (saat itu diserbu Perancis), pintu rumahnya dibuka bagi kaum imigran. Saat Vilma terlibat dalam gerakan menentang Batista, rumahnya juga menjadi tempat penampungan dan perlindungan bagi ‘gerilyawan’ yang terlibat penyerbuan Barak Moncada.
Tahun 1954, ia tamat dari Universitas. Ia termasuk sarjana kimia pertama di Kuba. Tahun itu juga ia berangkat ke Boston, Amerika Serikat, untuk melanjutkan studi pasca sarjana di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Namun, selama studinya itu, ia tetap menjalin kontak dengan Gerakan 26 Juli di Kuba.
Setelah selesai di MIT, ia segera kembali ke Kuba. Namun, atas saran dari Fidel, ia singgah di Meksiko. Di sana ia menerima instruksi dari Gerakan 26 Juli untuk dijalankan di kotanya, Santiago. Di situ juga Fidel merancang ekspedisi “Granma”, yakni penyusupan pasukan gerakan 26 Juli memasuki Kuba.
Perjuangan bersenjata revolusioner
Begitu kembali ke Kuba, Vilma mendedikasikan hidupnya bagi perjuangan revolusioner menumbangkan rezim Batista. Kendati ia jebolan Universitas ternama di AS, Vilma menolak menggunakan ilmunya untuk melayani rezim Batista.
Tanggal 30 November 1956, bersama Frank País, ia mengorganisir pemberontakan bersenjata di kota Santiago. Selain itu, ketika ekspedisi Granma tiba, Vilma ikut menyiapkan penyambutan.
Tanggal 1 Januari 1957, aparatus rezim Batista mulai mencium aktivitasnya. Tak hanya itu, intel rezim juga mengetahui keberadaan rumahnya sebagai tempat menyembunyikan gerilyawan dan melakukan koordinasi perlawanan.
Pada Februari 1957, gerakan 26 Juli menggelar pertemuan di pegunungan Sierra Maestra. Vilma turut hadir dalam pertemuan ini dan menerima instruksi dari Fidel guna disampaikan ke Frank País. Namun, situasi makin represif. Hingga, di bulan itu juga, Frank País dibunuh oleh rezim Batista.
Meninggalnya País tak menyurutkan perlawanan. Atas perintah Fidel, Vilma mengambil-alih kepemimpinan. Sejak itu, Vilma sudah menjadi bagian dari gerakan bawah tanah. Ia menggunakan nama samaran “Deborah”. Sejak itu, itu menjadi koordinator perlawanan di Provinsi Oriente hingga Juni 1958.
Sebagai koordinator gerakan bawah tanah, tugas Vilma tidaklah ringan. Ia harus mengorganisir perlawanan: merekrut massa, menyebarkan propaganda, dan membentuk sel perlawanan. Selain itu, ia juga ditugaskan mengorganisir logistik, obat-obatan, dan senjata bagi pasukan bersenjata di pegunungan Sierra Maestra.
Tahun 1958, ia mulai dilibatkan dalam pasukan bersenjata. Ia satu pasukan dengan Raul Castro, yang kelak menjadi suaminya, dalam Front Timur Frank País. Keduanya resmi menikah di tahun 1959. Sejak aktif di gerakan bawah tanah dan gerilya, Vilma gonta-ganti nama samaran: Déborah, Alicia, Mónica, dan Mariela.
Begitulah, dengan segala keberaniannya, Vilma tampil dengan memanggul senapan. Bersama dengan kawan-kawan seperjuangannya yang juga perempuan, seperti Tete Puebla, Celia Sánchez, Melba Hernández dan Haydée Santamaría, Vilma menjadi icon perempuan revolusioner Kuba.
Membuat ‘Revolusi dalam Revolusi’
1 Januari 1959, kediktatoran Batista berakhir. Sejak itu, negara revolusioner Kuba berdiri. Di bawah Kuba yang baru, Vilma mendedikasikan tenaga dan keahliannya untuk kemajuan negerinya.
Berkat dorongannya, tanggal 23 Agustus 1960, berdirilah Federasi Perempuan Kuba (FMC). Ia menjadi ketua organisasi tersebut–hingga meninggal tahun 2007. Meski baru berdiri, FMC telah memobilisasi perempuan Kuba untuk membangun sekolah dan klinik kesehatan.
Tak hanya itu, FMC juga mengumpulkan anak jalanan, membantu kaum miskin di pemukiman kumuh, dan tugas-tugas sosial lainnya. Yang lebih penting lagi, FMC aktif mendorong keterlibatan perempuan Kuba dalam revolusi. Inilah yang disebut Fidel sebagai “revolusi dalam revolusi”.
“Fenomena keterlibatan perempuan dalam revolusi adalah revolusi di dalam revolusi. Jika aku ditanya apa yang paling revolusioner dari pekerjaan revolusi, maka aku akan menjawab: revolusi yang terjadi di kalangan kaum perempuan negeri kami,” ujar Fidel.
Saat Vilma meninggal 18 April 2007 lalu, Fidel kembali menegaskan kontribusinya dalam membangkitkan kaum perempuan. Fidel menulis: “contoh sosok Vilma hari ini lebih dibutuhkan dibanding sebelumnya. Dia mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, ketika di Kuba banyak perempuan terdiskriminasi sebagai manusia, seperti di tempat lain di seluruh dunia, dengan hanya pengecualian terhadap sejumlah perempuan revolusioner yang terhormat.”
Tahun 1961, ketika Fidel memulai kampanye pemberantasan buta huruf, FMC berperan aktif di dalamnya. Ratusan ribu perempuan, terutama perempuan muda, menyebar ke seluruh pelosok Kuba untuk mengajari jutaan rakyatnya membaca dan menulis.
Vilma juga berhasil mendorong berlakunya ‘kode keluarga Kuba’, yang mendorong pembagian kerja seksual yang adil di dalam rumah tangga, termasuk keterlibatan laki-laki dalam mengurus pekerjaan dapur dan mengurus anak.
Namun, ada yang menarik dengan cara pandang Vilma terkait ide pembebasan perempuan. Ia kurang setuju dengan istilah “emansipasi perempuan” ataupun “perjuangan untuk kesetaraan”. Dalam bukuWomen in Cuba: The Making of a Revolution Within the Revolution, ia menjelaskan: “apa yang kami lakukan adalah berbicara tentang partisipasi. Perempuan ingin berpartisipasi.”
Ia selalu berbicara tentang perempuan sebagai ‘kader revolusi’. Ia selalu berkeinginan agar perempuan Kuba, bersama-sama dengan laki-laki, bekerja untuk revolusi. Cara pandang ini, seperti juga Gerwani di Indonesia, tidak memisahkan perempuan sebagai seorang sebagai seorang kader atau pekerja revolusi dan sekaligus ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Dari pernikahannya dengan Raul Castro, Vilma punya tiga anak perempuan, yakni Mariela, Deborah dan Nilsa, dan seorang anak laki-laki, Alejandro. Mariela yang banyak melanjutkan pekerjaan ibunya sebagai Direktur Pusat Nasional Kuba untuk Pendidikan Seks dan aktivis LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender).
Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Posting Komentar