Pemuda yang tidak lulus SMA itu, yang belajar teknologi internet secara otodidak, telah membuat dunia gempar. Pada tahun 2013, pemuda berusia 29 tahun membocorkan ratusan ribu file rahasia badan Intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA).
Pemuda yang kerap berkacamata itu bernama Edward Snowden. Tahun 2016 lalu, sutradara progressif Amerika Serikat, Oliver Stone, mengangkat kisah kepahlawanan Snowden ke layar lebar. Film biopik berjudul Snowden ini menyingkap kejahatan negara adikuasa Amerika Serikat dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Film ini dibuka dengan adegan pertemuan antara Snowden (Joseph Gordon-Levitt) dengan jurnalisGuardian Glenn Greenland (Zachary Quinto) dan pembuat dokumenter Laura Poitras (Melissa Leo) di lobi Hotel Mira di Hongkong.
Tak lama kemudian, ketiganya menuju ke sebuah kamar di Hotel mentereng di kota Hongkong itu. Dan wawancara pun dimulai. Wawancara itulah, dimana Snowden mengisahkan patahan-patahan penting dalam sejarah hidupnya, yang menjadi alur film biopik berdurasi 134 menit ini.
Snowden adalah pemuda patriotik. Demi menyalurkan jiwa patriotiknya, dia sempat mendaftar di Angkatan Darat. Sial, sebuah kecelakaan yang menyebabkan tulang-belakangnya retak membuat Snowden harus melepas mimpinya menjadi prajurit.
Tetapi keinginan mengabdi kepada tanah-air tidak membuat Snowden patah semangat. Dia mencoba jalan lain: menjadi anggota Badan Intelijen Amerika (CIA). Karena otaknya yang encer, dia langsung diterima. CIA jelas membutuhkan keahliannya di bidang teknologi informasi. Dan karena itu, dia segera menjadi murid kesayangan petinggi CIA, Corbin O’Brian (Rhys Ifans).
Singkat cerita, berkat kecerdasannya, karir Snowden cepat melejit tinggi. Sebagai konsultan dan penasehat senior CIA. Juga konsultan kontrak di NSA. Dia pernah ditugaskan di Jenewa, Swiss, untuk menjaga jaringan komputer CIA. Dia juga pernah dikontrak NSA untuk bekerja di Jepang.
Yang menarik, selain kisah Snowden dan berbagai istilah komputer, Stone juga menyisipkan kisah asmara Snowden dengan kekasihnya, Lindsay Mills (Shailene Woodley), seorang gadis cerdas yang jatuh-cinta pada fotografi. Dalam relasi mereka, Snowden digambarkan konservatif, sedangkan Lindsay cenderung liberal.
Tetapi, sebetulnya, film ini hendak menyampaikan pesan penting: bagaimana negara adikuasa Amerika Serikat memanfaatkan teknologi informasi untuk menegakkan dominasinya di seantero dunia.
Pertama, Amerika Serikat lewat NSA menyadap dan mematai-matai warganya dan tidak sedikit penduduk negara lain. Termasuk menyadap tokoh-tokoh ternama, pemimpin bisnis, selebritis, hingga pemimpin politik.
Bagaimana itu dilakukan?
NSA punya program yang disebut PRISM, yaitu program mengumpulkan data (pribadi dan kontak), percakapan (chat, email, messenger), unggahan video, foto, transfer file, dan lain-lain dari orang yang menjadi target.
Caranya, NSA punya akses terhadap provider internet, seperti Microsoft (Hotmail, dll), Goggle, Yahoo, Facebook, PalTalk, Youtube, Skype, AOL dan Apple. Ngeri kan?
Dengan data-data itu, AS (lembaga intelijen) sebagai pemegang data rahasia bisa menekan seseorang yang menjadi targetnya. Misalnya, NSA mengumpulkan data pribadi seseorang, termasuk kalau ada kesalahan dan skandal seksnya, untuk dijadikan “tombol” guna menekan orang tersebut.
NSA dan intelijen Inggris, Government Communications Headquarters (GCHQ), punya program yang disebut optic nerve yang memungkinkan siaran langsung melalui webcam laptop, terutama bagi pengguna Yahoo Webcam. Sekalipun laptop tersebut dalam keadaan mati/tidak digunakan.
NSA juga program yang disebut XKEYCORE, sebuah program mesin pencarian yang menyerupaigoogle. Bedanya, XKEYSCORE bisa mencari data apapun, termasuk data yang disembunyikan (percakapan email, G-chat, dll). Program ini juga bisa membaca lalu-lintas pengunjung sebuah website.
Yang lebih ngeri lagi, AS memasang perangkat lunak berbahaya (malware) dalam sistim komunikasi dan teknologi infrastuktur negara lain, seperti pembangkit listrik, bendungan, rumah sakit, dan lain-lain. Ini dilakukan bukan hanya ke negara musuh, seperti Rusia, Tiongkok, Iran, Venezuela dan Bolivia, tetapi juga negara-negara sekutunya: Jepang, Meksiko, Jerman, Austria, dan lain-lain.
“Idenya jika Jepang suatu hari nanti bukan lagi sekutu, maka negara itu bisa dipadamkan,” kata Snowden.
Bayangkan, sebuah negara bisa dibuat kacau tanpa perlu mengirim serdadu dan mengumbar dentuman meriam. Inilah perang dunia modern.
Kedua, film ini juga mengubah cara pandang kita tentang perang. Perang tidak lagi dalam makna konvensional, serdadu dan dentuman meriam berhadap-hadapan. Melainkan perang dengan perangkat teknologi. Misalnya, militer AS bisa menembak targetnya yang jauh di benua lain, semisal di Pakistan, hanya dengan bantuan drone. Penembaknya tidak perlu berlindung di parit, tetapi bisa berbaring manis di tempat tidur.
Bagaimana itu terjadi?
Selain bantuan drone, ternyata NSA/CIA juga bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi, termasuk ponsel. Jadi, target bisa dilacak melalui ponselnya. Kemudian sebuah program bernama “Epic Shelter” mencocokkan presisinya. Dan duarrr…
Perang bisa saja berbentuk pertempuran dunia maya antar hacker-hacker. NSA sendiri punya dua grup hacker untuk menghadapi negara lain, yakni NTOC (pertahanan) dan ROC (penyerbuan).
Ketiga, melalui film ini Stone juga berusaha merekonstruksi pengertian patriotisme. Patriotisme tidak hanya dengan menjadi serdadu, dikirim ke medang perang, dan bertempur demi tanah-air. Tetapi seorang patriot adalah orang yang mendedikasikan apapun yang dimilikinya, termasuk keahlian dan pengetahuan, kepada negaranya. Dia bisa saja seorang ahli internet yang bertempur melawanhacker-hacker dari negara lain.
Melalui film ini, kita tahu bahwa apa yang diperjuangkan Snowden bukan hanya kemerdekaan warga negara. Seperti dikatakannya: “Saya tidak ingin hidup di dunia, dimana segala yang saya katakan, saya lakukan, yang saya bicarakan dengan orang lain, semua ekspresi, cinta, persahabatan, direkam.”
Tetapi Snowden juga mau memberitahu kita, bahwa segala bentuk penyadapan, atau kontrol intelijen atas kehidupan kita, bukanlah untuk proyek yang disebut “perang melawan terorisme”, melainkan sebuah kendali sosial dan ekonomi untuk menjaga tegaknya supremasi imperium Amerika Serikat.
Dan Snowden telah mengorbankan kehidupannya, gaji dan karirnya yang menjulang, demi membela salah satu hak mendasar setiap manusia: kebebasan dan kemerdekaan. Dia rela menjadi tamu asing di negara lain: Rusia. Dia rela dicap sebagai “penghianat” oleh pemerintah negerinya sendiri.
Posting Komentar