Home » » Pendidikan di Papua Butuh Perhatian

Pendidikan di Papua Butuh Perhatian

Written By Unknown on Rabu, 12 April 2017 | April 12, 2017


JAKARTA - Pemerataan pendidikan menjadi salah satu masalah yang dihadapi Indonesia. Di wilayah perkotaan, para siswa dengan mudah dapat mengakses pendidikan berkualitas. Namun di daerah terpencil, pendidikan menjadi hal langka, bahkan tidak diprioritaskan oleh masayarakat.
Seperti yang terjadi di Papua. Data Wahana Visi Indonesia (WVI) menunjukkan, masih banyak warga usia di atas 15 tahun yang tidak bisa membaca. Selain itu, Papua juga belum mampu menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Padahal, saat ini pemerintah sedang menggalakkan program wajib belajar 12 tahun.
"Anak usia sekolah yang tidak bersekolah di Papua masih cukup tinggi. Dari data Restra Disdik 2013-2018, angka partisipasi sekolah pada 2012 usia 7-12 tahun 73,36 persen, 13-15 tahun 71,29 persen, dan 16-18 tahun 50,55 persen. Artinya semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin rendah partisipasi anak bersekolah," terang Zona Manager Program (WVI) di Papua, Charles Sinaga dalam media briefing di Gedung 33, Jakarta, Kamis (28/4/2016).
Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) yang rendah di Papua, ucap Charles, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak adanya proses pembelajaran yang teratur lantaran tingkat ketidakhadiran guru yang tinggi. Faktor lainnya adalah angka kekerasan terhadap anak tinggi sehingga membuat siswa tidak nyaman di sekolah, ketidaktersediaan media pembelajaran, serta dukungan masyarakat masih rendah.
"Kegiatan belajar mengajar tidak relevan dengan lingkungan siswa, ketika guru galak atau melakukan kekerasan anak jadi takut sekolah, kompetensi guru rendah, keterbatasan sarana pembelajaran, hingga distribusi guru tidak merata. Potret tersebut terjadi di Papua," paparnya.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Charles berpendapat bahwa pendidikan di Papua darurat dan butuh strategi untuk meningkatkannya. Menurut dia, saat ini pemerintah sendiri sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan dan mendukung adanya pendidikan alternatif.
"Pendidikan alternatif itu seperti pendidikan berbahasa ibu, pendidikan kampung, pendidikan berbasis asrama, dan pendidikan karakter konstektual. Di program yang dilakukan di Papua, kami mengusung pendidikan berbahasa ibu dan karakter kontekstual, yakni Pakima Hani Hano," ucapnya.
Dia menambahkan, pendidikan kontekstual berdasarkan kearifan lokal bukan berarti menguburkan Ke-Indonesia-an seseoorang. Sebab, model yang ditawarkan adalah lingkungan pendidikan yang nyaman dan damai, sehingga membuat anak semangat dalam menimba ilmu.
"Justru Indonesia itu dibangun karena keragamannya. Kami tidak menghasilkan kurikulum baru, tetapi sebagai pengayaan kurikulum nasional serta buku-buku suplemen pendukung metode pembelajaran," tukasnya. (ira)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Portal Berita Tolikara No. 1 Majalah Toli - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger