Ini adalah topik yang paling hangat menjadi perbincangan selama dua puluh tahun terakhir. Wartawan luar negeri akan selalu mengaitkan antara kemajuan Papua dan alasan Papua bergabung dengan Indonesia. Contohnya: Sudah berapa lama Papua bagian Indonesia dan mengapa tidak ada kemajuan dan bergerak sangat lambat? Perlu diketahui, bahwa bukan hanya Papua saja yang pergerakan sosial ekonomi lambat, tetapi banyak juga daerah di luar Jawa.
Dahulu, sebelum Pak Jokowi membangun bandara di Sorong, yang sekarang di tahun 2016, bandara tersebut menjadi cukup megah, pembangunan di Papua dapat dilihat dari bentuk Bandara saja. Sebagai contoh ketika kita akan melakukan perjalanan dari Jakarta, Surabaya, Makasar atau Ambon, kemudian menginjakkan kaki di Papua, maka kesenjangan itu akan mulai dapat dirasakan. Bandara Papua saat itu sangat kecil dan jorok, jauh lebih kotor daripada terminal. Termasuk juga bandara di Biak.
Jika pembangunan fisik dan infrastruktur dapat berjalan dua tahun selama kepemimpinannya, bagaimana dengan pembangunan manusia? Peningkatan kualitas kesehatan dan peningkatan kualitas pendidikan? Bagaimana mengurai masalah pendidikan di Papua? Sungguh persoalan ini adalah sangat kompleks dan abstrak.

Apakah masalahnya adalah masalah geografis? Indeks kemahalan? Atau kondisi geografis dari lembah-lembah, gunung-gunung, dan pantai-pantai yang sangat susah dijangkau? Mungkin alasannya adalah kondisi infrastruktur yang sangat terbatas. Banyak jalan yang ada disana adalah peninggalan Belanda, termasuk pelabuhan mungkin. Belum ada pembangunan berarti selama beberapa tahun, kecuali di tangan Jokowi, sudah ada pembangunan sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan ketiadaan infrastruktur, contohnya Singapura yang tahun 1960 lahannya hanya 55,000 hektar sekarang sudah 75,000 hektar. Demikian juga Belanda yang mampu membangun bendungan yang konon bisa bertahan 10,000 tahun dan Jepang yang mampu membangun terowongan bawah laut di tengah segala keterbatasan geografis. Masalahnya untuk membangun infrasturktur diperlukan apa? Untuk mengatasi kendala geografis diperlukan apa? Jadi mungkin alasan ini bukan masalah yang utama dalam perspektif saya.
Termasuk juga pembangunan gedung sekolah. Apakah mahal membangun sekolah dasar? Apakah mahal membeli papan tulis? Tetapi kenyataannya tidak disetiap kampung di Papua ada akses sekolah dasar. Yang lebih menyedihkan lagi, kalaupun ada akses sekolah dasar, tidak ada guru. Masalah selanjutnya kalaupun ada guru, apakah guru tersebut masuk kelas dan mengajar? Masalah selanjutnya, apakah guru tersebut mengajar dengan baik? Bagaimana kualitas guru disana? Tetapi kembali lagi, sebelum persoalan kualitas guru dipermasalahkan, di Papua, banyak tidak tersedia guru. Tidak ada guru. Sering saya menjumpai dalam satu sekolah di pelosok daerah hanya ada satu kepala sekolah dan satu guru. Yang terjadi adalah jika sang kepala sekolah pergi untuk mengambil gaji, maka hanya ada seorang guru yang mengajar kelas 1-6. Dan jika guru tersebut sakit, maka tidak akan ada lagi yang mengajar. Kembali lagi kelas kosong dan murid-murid tidak menerima pelajaran apapun. Ini adalah masalah krusial untuk pendidikan dasar di Papua. Ketersediaan guru! Tulisan tentang pendidikan dasar di Papua disini (klik)
Masalah yang kedua adalah keinginan masyarakat lokal. Ketika Ki Hadjar Dewantara mulai merintis pendidikan di tanah Jawa, Sumatera dan Bali, belum ada pendidikan formal di Papua. Saya pernah mengalami mengajar murid SMP ketika mereka berusia 20 tahun bahkan 21 tahun, disebabkan karena ketersediaan sekolah. Jadi, ketika sekolah SMP dibuka, maka siapapun akan kembali belajar dan menempuh pendidikan. Budaya pendidikan ini sebenarnya lebih baik jika dirintis sejak dini. Ketika ada pendidikan usia dini, masyarakat sekitar akan mempunyai perhatian lebih. Kesadaran tentang arti pentingnya pendidikan. Bagi masyarakat lokal, tidak semua orang tua mendukung pendidikan.
Kesadaran masyarakat lokal ini sangat penting. Banyak masyarakat lokal yang lebih mendukung anaknya untuk bekerja, mencari ikan di laut, menebang kayu di hutan, atau menangkap udang. Bukan hanya itu saja, ada beberapa masyarakat yang mendukung pendidikan, tetapi gizi anaknya tidak diperhatikan. Misalnya anaknya tidak sarapan di sekolah ataupun tidak diberi uang saku? Dan akhirnya tidak dapat konsentrasi di sekolah karena lapar. Tidak ada buku. Mereka mungkin punya uang banyak, tetapi pendidikan bukanlah investasi yang penting bagi mereka.
Oleh sebab itu, dibeberapa daerah yang sangat-sangat sulit dijangkau. Pendidikan alternatif adalah solusinya. Seperti contohnya Sokola Rimba, dimana murid bisa datang kapanpun untuk belajar.
Sebenarnya sudah ada secercah harapan di Papua. Lulusan-lulusan perguruan tinggi sudah banyak mengajar di Papua. Tetapi mereka hanya terpusat di kota-kota besar, sehingga di kabupaten-kabupaten baru dan daerah terpencil banyak belum tersentuh. Menurut saya, kuncinya adalah masyarakat lokal sendiri. Harus semakin banyak yang menjadi guru dan dokter. Dua hal dasar di Papua, pendidikan dan kesehatan. Dan tentu saja persoalan pendidikan jauh lebih mudah diselesaikan dibandingkan dengan persoalan kesehatan.
Setidaknya sudah banyak guru asli Papua. Guru dengan kualitas sangat baik pun akan semakin sering ditemukan. Tetapi dokter asli Papua, masih memerlukan perjalanan sangat panjang. Membangun fakultas kedokteran di perguruan tinggi seperti UNCEN dan UNIPA jauh lebih sulit dan mahal dibanding meningkatkan kualitas lulusan guru dan pendidikan dasar di perguruan tinggi.
Perlu disediakan kesempatan lebih bagi masyarakat lokal untuk dapat menempuh pendidikan yang bermutu. Kalau perlu secara gratis! Tetapi saya yakin itu membutuhkan waktu yang sangat lama, setidaknya sampai 20 tahun ke depan. Anak-anak Papua yang bisa sampai perguruan tinggi berarti mempunyai daya juang yang luar biasa di tengah ketiadaan akses pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini. Mereka belajar untuk melawan nasib. Tetapi sekali lagi, jumlahnya tidak banyak. Banyak aparatur daerah di Papua bukan warga asli Papua karena ketiadaan lulusan, sehingga banyak mengambil dari daerah lain.
Menurut saya untuk membangun pendidikan di Papua, adalah membangun masyarakatnya sendiri. Masyarakat harus mempunyai keinginan dan tindakan untuk terus belajar. Pemerintah daerah harus memfasilitasi anak Papua untuk menempuh pendidikan. Sekarang ini sepertinya masih belum ada kerjasama yang baik. Contohnya, perguruan tinggi banyak menyalahkan kualitas input anak SMA yang masuk perguruan tinggi karena beberapa diantara ternyata ada yang masih mengalami kesulitan membaca dan menulis. Dan akhirnya kualitas guru yang menjadi akar permasalahan.
Tetapi bila dilirik kembali, dari manakah para guru ini berasal? dari universitas bukan?
Saya percaya masalah pendidikan dasar di Papua akan segera terselesaikan. Setidaknya pemerintah sudah mulai meluncurkan program SM3T. Program mengajar di pedalaman bagi lulusan guru. Selain itu banyak gerakan masyarakat lokal yang sedang menggeliat. Misalnya adalah buku untuk Papua, untuk menanamkan kecintaan membaca sejak dini di Papua. Banyak juga masyrakat yang mengabdikan diri di tempat-tempat terpencil untuk mengajar.
Kita harus optimis! Banyak juga pakar pendidikan dari Papua seperti Yohana Yembise dan Dr Suriel Mofu yang sedang berjuang untuk pendidikan Papua. Harus ada rasa saling percaya diantara masyarakat lokal untuk pembangunan pendidikan Papua ke depan. Persoalan infrastruktur bukan masalah utama, tetapi ketersediaan guru dan penyebaran guru di daerah yang sulit dijangkau. Masalah selanjutnya adalah peningkatan kualitas guru dan akses pendidikan yang menyeluruh dari PAUD TK SD SMP SMA dan Perguruan Tinggi dengan biaya yang terjangkau. Selain itu harus ada upaya untuk mencegah anak usia sekolah dari putus sekolah (klik)
Harus disediakan pendidikan afirmasi untuk anak-anak Papua yang dari pedalaman. Contohnya, ketika mereka SMA mungkin mereka belum lancar membaca dan menulis. Bukan karena bodoh, tetapi karena mereka tidak pernah diajar dan belajar selama di SD dan SMP. Demikian juga, anak-anak Papua yang belajar di perguruan tinggi harus selalu dipantau perkembangannya. Harus ada divisi khusus untuk membantu mereka cara-cara belajar yang efektif, sehingga mereka dapat menyelesaikan bangku pendidikan tinggi. Sudah banyak anak putus sekolah di SD, SMP dan SMA! Perguruan tinggi juga harus menjembatani anak-anak Papua yang sudah kuliah.
Akhir kata, masalah pendidikan di Papua tidak akan pernah dapat diselesaikan selama setahun atau dua tahun. Tetapi perlu program jangka panjang dan kerjasama pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Butuh kesadaran masyarakat yang tinggi tentang pentingnya arti pendidikan. Butuh kerjasama antara semua lapisan masyarakat, pemerintah dan pihak swasta.
Salam damai untuk Papua
Posting Komentar