Home » » Bara di Papua Masih Mengancam

Bara di Papua Masih Mengancam

Written By Unknown on Sabtu, 08 April 2017 | April 08, 2017


MajalahTolii -- Kembalinya salah satu Panglima Organisasi Papua Merdeka (OPM) kepangkuan Ibu Pertiwi, bukan berarti masalah Papua sudah tuntas. 
Menjelang  70 tahun berdirinya NKRI, sejarah panjang konflik regional di negeri ini belum juga menandakan akan segera berakhir. Negeri ini mengalami pergolakan internal yang cukup serius dengan berbagai konfllik regional yang menyisakan sejarah kelam negeri Nusantara. Pada awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para "The Founding Fathers" telah berkonsensus mendirikan negara dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan bersama. Itulah yang kemudian menjadi dasar kebijakan politik bernegara yang wajib dijalankan oleh setiap pemimpin nasional, tak terkecuali oleh Presiden Jokowi.
Papua mengalami unifikasi secara resmi pada tahun 1963, 18 tahun usia Proklamasi Kemerdekaan. Pada awalnya integrasi Papua memberikan harapan yang besar bagi terwujudnya cita-cita bernegara untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Papua. Rakyat Papua kemudian mengalami degradasi moral bernegara bersama bangsa Indonesia yang ditunjukkan dengan ketidakpuasan elemen rakyat Papua akan keseriusan Pemerintah menghadirkan tujuan kesejahteraan dan kemakmuran sebagaimana yang dicita-citakan dalam konsiderans konstitusi NKRI.
Permasalahan Papua akhir-akhir ini menjadi tren topic yang cukup menarik diperbincangkan. Pasca kembalinya Jenderal Goliat Tambuni bersama  23 pengikutnya ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 23 Maret 2015 dinilai sebagai keberhasilan Pemerintah melalui TNI dalam menangani masalah Papua. Namun sepertinya Pemerintah masih salah langkah dalam melakukan penanganan. Benarkah demikian?
Keputusan Jenderal Goliat Tambuni ditanggapi oleh Mathias Wenda. Dalam pernyataannya di situs papua merdeka news pada 24 Maret 2015, Mathias  menganggap keputusan tersebut hanyalah keinginan pribadi dan tidak akan menyurutkan perjuangan Papua menuju kemerdekaan. Mathias Wenda yang mengaku sebagai Panglima Tertinggi Tentara Revolusi West Papua/West Papua Revolutionary Army (TRWP/WPRA) juga menegaskan bahwa keputusan untuk menyerahkan diri, atau menyerah kepada NKRI atau pihak manapun oleh orang Papua, bukanlah cerita baru dan bukan juga hasil kerja keras NKRI dalam meng-indonesia-kan orang Papua.
Perjuangan Papua Merdeka itu sendiri sejak tahun 2000 dilakukan melalui kampanye yang diberi julukan “Koteka Revolution” oleh penulis bernama Paul Kingsnorth dalam bukunya One No, Many Yeses: An investigative journey though the anti-globalisation movement.” Buku ini menarik karena merangkai dan meringkas berbagai gerakan kemerdekaan dan gerakan menentang imperlialisme dan neo-kolonialisme di seluruh muka bumi. Istilah koteka revolution itu sendiri muncul ketika Paul Kingsnorth ditemani tokoh pemuda perjuangan Papua Merdeka, Benny Wenda datang ke tanah Papua. Koteka revolution  itu sendiri membagi 2 sayap perjuangan kemerdekaan Papua, yaitu sayap militer dan sayap perjuangan politik. Sayap militer di bawah pimpinan Jenderal Mathias Wenda menjalankan kepemimpinan ala Panglima Perang dalam suku-suku di pegunungan Tengah Papua. Sementara sayap politik saat ini dimobilisasi oleh Benny Wenda pada tatanan internasional.
Dalam strateginya, sepak terjang Benny Wenda sejak tahun 2012 mulai mendekat ke Amerika Serikat (AS) dan melakukan upaya internasionalisasi masalah Papua. Keberlanjutan dari pendekatan tersebut kemudian adalah pada Februari 2013, Benny Wenda memulai “Freedom Tour” ke AS, Selandia Baru, Australia, Papua New Guinea, dan Vanuatu. Tujuan utamanya adalah untuk mem-framing isu self-determination.
“Freedom Tour” merupakan kelanjutan dari kampanye “Free West Papua” yang telah dimulai oleh Wenda sejak tahun 2004 dari pengasingannya di Oxford, Inggris. Saat itu pesan utama dalam kampanyenya adalah masalah pelanggaran HAM di Papua. Dengan dukungan pemerintah lokal Oxford, Benny Wenda berhasil membuka kantor pusat “Free West Papua” di Oxford pada tahun 2013. Pada bulan Mei 2013, Benny Wenda melanjutkan kampanye internasionalnya untuk pembebasan Papua. Benny berbicara di Sydney Opera House dalam acara TEDx, yang notabene adalah acaratalkshow bonafide yang memiliki jangkauan dan pengaruh cukup signifikan.
Salah satu titik balik menguatnya misi menarik simpati internasional adalah pada 15 Agustus 2013 ketika konvoi tiga kapal Freedom Flotilla West Papua yang diawaki 15 aktivis Aborigin dan Papua berlayar dari Chairns, Australia, menuju Merauke, Papua, yang memunculkan beragam reaksi keras. Simpati rakyat Papua pun menguat. Sekitar 2.000 orang sempat berkumpul dalam acara berdoa bersama untuk keselamatan awak Freedom Flotilla. Sementara itu di Manokwari, 3.000 orang turun dalam aksi long marchmenyambut kedatangan Freedom Flotila pada 27 Agustus 2013.
Strategi Benny Wenda dalam menginternasionalisasikan masalah Papua juga diakui oleh mantan Diplomat RI untuk Brasil, Fredi Kambu, yang menyatakan bahwa upaya kemerdekaan Papua telah didukung oleh sekitar 1500 NGO (LSM) di Amerika latin. Dukungan ini ternyata karena proses menginternasionalisasikan Papua lebih mengekedepankan hal-hal negatif yang terjadi Papua, seperti Indonesia tidak memperhatikan dan melaksanakan pembangunan di Papua, sehingga Papua tertinggal. Pelanggaran HAM pun menjadi menu makanan yang asik di luar negeri, tanpa memperhatikan hal-hal lainnya.
Celakanya,  dukungan Papua Merdeka juga datang Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil pada 4 Maret 2014, ketika berpidato pada Sidang Tingkat Tinggi ke-25 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Dalam pidatonya, PM Vanuatu mendorong komunitas internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat. PM Vanuatu menilai bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 cacat hukum dan penuh rekayasa. Agaknya, pengakuan negara-negara pasifik terhadap Papua akan menjadi agenda penting yang segera direalisasikan.
Isu negatif dan dukungan internasional itulah yang nantinya akan mengarah kepada isu self- determination. Benny Wenda beranggapan bahwa self-determination sebagai kata kunci memisahkan Papua dari NKRI. Anggapan tersebut bukannya tanpa dasar, kasus kemerdekaan Kosovo kala itu juga mengangkat isu yang sama. Self-determination adalah hak segala bangsa, belakangan gagasan self-determination telah berkembang menjadi hak asasi manusia dan menjadi dasar hukum internasional. Dalam “Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and People” pada tahun 1960, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa “Penaklukan rakyat oleh bangsa asing, dominasi, dan eksploitasi, adalah bentuk penyangkalan terhadap hak asasi manusia, dan bertentangan dengan Piagam PBB, serta merupakan penghalang bagi terciptanya kerjasama dan perdamaian dunia”.
Salah pendekatan
Kembali pada menyerahnya Jenderal Golioat Tambuni, sepertinya sudah sangat jelas bahwa perjuangan kemerdekaan Papua masih akan terus berlanjut. Perjuangan itu sendiri lebih mengkedepankan aspek menginternasionalisasikan permasalahan Papua dan lebih mengesampingkan perjuangan militer. Jika Pemerintah Indonesia melalui aparat keamanannya hanya berpikir dalam upaya menstabilkan kondisi keamanan Papua tanpa melakukan kontra opini di mata Internasional,  maka jangan salahkan jika Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)  tahap kedua akan kembali terjadinya. Pepera  merupakan salah satu jalan menuju self- determination yang dilakukan oleh Kosovo atau seperti yang terjadi terhadap Timor Leste melalui jejak pendapatnya pada tahun 1999.
Lantas bagaimana jika nantinya Pepera kembali terjadi apakah rakyat Papua akan tetap setia pada NKRI? Rasanya sangat sulit masyarakat Papua akan setia terhadap NKRI. Indikator tersebut sudah sangat jelas tergambar dengan tidak maksimalnya penerapan otonomi khusus Papua yang belum juga berhasil meng-Indonesia-kan masyarakat Papua dengan kesejahteraan. Bahkan upaya Presiden Jokowi akhir-akhir ini dengan menjalin komunikasi Jakarta-Papua pun dinilai sia-sia saja. Upaya menjalin komunikasi ini ternyata lebih kepada mengkedepankan pendekatan keamanan. Jika demikian,  penanganan Papua ibarat dokter yang salah menerapkan diagnosis penyakit yang berdampak pada pengobatan yang keliru, bahkan berdampak pada tindakan malpraktik.
Akar persoalan di Papua sebenarnya bersumber pada masalah kesejahteraan, lalu kemudian dipolitisasi oleh faksi militer yang telah lama menguasai rezim Pemerintah Pusat di zaman Orde Baru yang kemudian terus saja bertahan hingga hari ini dengan hanya melakukan pendekatan keamanan semata. 
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Portal Berita Tolikara No. 1 Majalah Toli - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger