Home » » Cerita di balik terbitnya buku “Punah”

Cerita di balik terbitnya buku “Punah”

Written By Unknown on Jumat, 07 April 2017 | April 07, 2017


Buku ontologi puisi, esai dan cerpen itu diterbitkan di Yogyakarta atas kerja sama dengan komunitas HUWILI dan Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG).

Jayapura, Jubi – Buku setebal dua ratus enam puluh empat halamann bersampul biru kegelapan dan gambar burung cenderawasih serta tifa digenggamnya bangga. 
Vony Aronggear, guru SMAN 2 Jayapura berbaris rapi bersama sepuluh orang siswanya. Ia pun menceritakan kepada Jubi ihwal cerita di balik terbitnya buku berjudul “Punah” yang ditulis sepuluh siswanya itu. 
Buku ontologi puisi, esai dan cerpen itu diterbitkan di Yogyakarta atas kerja sama dengan komunitas HUWILI dan Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG).
HUWILI adalah komunitas seni yang merangkul beberapa aliran komunitas seni; sastra, kuliner, lukis, rajut, grup musik, fotografer, dan seni rupa. 
Karya sastra yang menorehkan sejarah literasi muda Papua itu ternyata menceritakan tentang kepunahan cenderawasih, burung kebanggaan tanah Papua. 
Para pelajar ini berkolaborasi dengan sastrawan, penyair, penggiat, pemerhati dan pecinta sastra Papua, bahkan nasional serta internasional. Mereka adalah Anisa Ifandi, Hilbrand Tuanakotta, Kintan Adhelvyana Dwiguna Fabanyo, Laura Elsa Kabuare, Nila Margi Jihani, Nilawati Dwiputry, Sundari, Takdir, Wilfred Palangan dan Yuliana Aksamina Siriyey.
Ketika pulang studi S-2 dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2016, ia kembali ke SMAN 2 dan berniat membuka pelajaran ekstrakuler. 
“Saya mulai berpikir bahwa belum ada anak-anak SMA yang mempunyai buku atau menulis buku. Kalau saya bisa menulis, kenapa anak didik saya tidak bisa menulis. Akhirnya gagasan itu muncul,” katanya.
Memilih judul “Punah” diputuskan setelah berkutat dengan keinginan awalnya—yang semula menginginkan judul dari cerita Anisa Infandi yang banyak bercerita tentang burung Cenderawasih dan saat bersamaan marak penggunaan mahkota burung surga ini yang tidak pada tempatnya. Padahal mahkota cenderawasih hanya oleh digunakan kepala suku atau ondoafi. 
“Bicara judul buku itu harus singkat, dan mudah diingat. Awalnya judul buku ‘Surga Kecil Dijurang Kepunahan’. Judul tersebut kepanjangan, jadi saya berinisiatif mengubah judul menjadi “Punah”. Saya senang karena anak SMA bisa mengkritik pengguna mahkota cenderawasih dan kepunahannya,” kata Vonny. 
Dalam “Punah” juga sejumlah kontributor dilibatkan, di antaranya, Alfons Mambebyar Sroyer, Andre Liem, Charles Toto, Delima De Wilde, Igir Al-Qatiri, RD Kedum dan William Kiryar.
“Saya mau katakan bahwa anak-anak harus berinovasi dan keluar dari kotak mereka. Dunia ini besar dan mereka bukan hanya sekedar jadi pelajar, tetapi mereka bisa berkarya. Bahwa ketika di SMA dan mendapatkan hal baru dan ketika tamat nanti boleh dikembangkan dalam hal menulis buku,” katanya.
Penyair dan penulis Papua, Igir Al-Qatiri mengaku bangga atas karya para penulis muda dan produktif tersebut. Meski berusia 43 tahun ia mengaku tetap semangat sebab seniman harus berjiwa muda.
“Ketika pertama kali saya menulis buku, usia saya sudah 31 tahun. Hari ini saya berusia 43, saya sudah menulis 23 buku. Dalam sejarah Papua, saya adalah orang yang paling produktif dan saya adalah satu-satunya sastrawan yang ada di Papua. Banyak orang mengklaim sastrawan namun tidak pernah menulis buku. Kalau ada, paling hanya satu atau dua buku,” katanya.
Ia berpendapat, sastra mengajarkan kejujuran. “Bagi saya kejujuran itu lebih indah dari pada kepura-puraan yang menggairahkan,” ujarnya.
Menurutnya Mohammad Rivai Riza (Riri Riza)--sutradara, penulis naskah dan produser film asal Indonesia bahkan bangga atas karya para pelajar tersebut. 
“Riri Reza saja kaget, kok di Papua ada komunitas sastra dan ada anak-anak yang tulis sastra. Padahal kalau bicara sastra di Papua tak ada gaungnya,” katanya.
Salah satu penulis “Punah”, Kintan A.D. Fabanyo—kelas X IPA 1 SMA N 2 Jayapura mengatakan, awalnya dirinya mencoba sesuatu yang baru dengan menulis. Lama-kelamaan jadi keranjingan menulis. 
“Setelah buku ini terbit, banyak orang-orang di luar Papua memesannya. Mereka berminat pada buku ini,” kata Kintan. 
Kepala Dinas Pedidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, I Wayan Mudiyasa menyampaikan terima kasih kepada kepala sekolah dan guru pendamping. Oleh karena itu, pihaknya memberikan piagam penghargaan kepada penulis-penulis muda ini, 4 April 2017. 
Wayan mengakui belum pernah ada disekolah-sekolah manapun di Tanah papua sehingga diharapkan penulisan buku ini menjadi semacam virus ke sekolah-sekolah, terutama SMP dan SMA/SMK. 
“Saya harap sekolah-sekolah lain, marilah lihat ke kanan dan kiri, jangan hanya melihat kedepan. Karena satu torehan ini sungguh luar biasa. Kami dari Pemerintah Kota Jayapura berikan apresiasi kepada anak-anak ini,” ujarnya. (*) 
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Portal Berita Tolikara No. 1 Majalah Toli - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger