“Saya sudah menyurati pemerintah Indonesia tentang hal tersebut. Hari ini saya bertemu keluarga korban virus pertusis yang terjadi di Mbua dan saya tahu belum ada tindakan penanganan virus itu,” kata Puras.
Jayapura, Jubi - Pelapor khusus untuk hak kesehatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dainius Puras yang berkujung ke Papua pada 31 Maret-1 April 2017 menyempatkan diri untuk mendengarkan keluh kesah warga sipil di Papua. Terutama korban dan keluarga korban yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
“Tugas saya mengumpulkan semua informasi dari pemerintah dan warga sipil,” ungkap Puras dalam pertemuan dengan warga sipil di Jayapura, Jumat (31/02/2017) malam di Kantor Sinode GKI Papua.
Ia bertemu warga sipil Papua yang terdiri dari petugas kesehatan, aktivis Papua, NGO, individu pemerhati HAM Papua dan korban. Korban yang datang bertemu dengan pelapor khusus ini berasal dari Manokwari, Merauke, Yahukimo, Biak, Sarmi, Wamena dan Nduga serta Kabupaten dan Kota Jayapura. Kejadian Luar Biasa di Mbua, kabupaten Nduga mendapat perhatian khusus dari pelapor khusus ini.
Selain korban dan aktivis, hadir pula dalam pertemuan ini Ketua Sinode GKI, Pendeta Albert Joku, Ketua Sinode Kingmi, Pendeta Benny Giay dan Ketua Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikbo.
Fasilitas kesehatan dan pembatasan kelahiran
Fasilitas kesehatan dan pembatasan kelahiran
Petugas kesehatan dari Rumah Sakit Abepura memberikan gambaran kondisi pelayanan kesehatan di Papua, terutama mengenai ketersediaan obat.
“Obat-obatan yang bagus kadang didagangkan para dokter, sehingga pasien harus beli di apotek,” ungkap petugas kesehatan ini.
Lanjutnya, kamar operasi rumah sakit Abepura sampai saat ini bocor dan tidak pernah di perbaiki. Namun tetap digunakan untuk operasi. Situasi membuat pasien yang menjalani operasi dengan pisau tajam rawan kena inveksi.
Ia juga menceritakan pihak rumah sakit diduga membatasi kelahiran orang Papua dengan cara menteror keluarga ibu yang hendak bersalin dengan ancaman kematian.
Lanjutnya, kamar operasi rumah sakit Abepura sampai saat ini bocor dan tidak pernah di perbaiki. Namun tetap digunakan untuk operasi. Situasi membuat pasien yang menjalani operasi dengan pisau tajam rawan kena inveksi.
Ia juga menceritakan pihak rumah sakit diduga membatasi kelahiran orang Papua dengan cara menteror keluarga ibu yang hendak bersalin dengan ancaman kematian.
“Sebenarnya, lahir normal itu bisa tapi kadang petugas bilang kalau tidak operasi ibu atau anak mati. Keluarga terpaksa tanda tangan operasi,” tegasnya.
Kekerasan dan Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan
Kekerasan dan Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan
Edy Yalak, aktivis Komite Nasional Papua Barat mengatakan dirinya disiksa hingga tangan kirinya patah saat penangkapan dalam sebuah demonstrasi damai. Namun polisi tidak langsung membawanya rumah sakit. Ia harus menjalani pemeriksaan dipanas terik lebih dari satu jam dengan alasan pemeriksaan sebelum ke rumah Sakit Umum Jayapura.
“Saya sudah keluhkan tetapi masih ditahan di kantor polisi. Polisi antar karena teman-teman yang mau antara sehingga mereka kawal sampai ke rumah sakit,” ungkapnya di hadapan Puras.
Rekannya, aktivis KNPB dari Manokwari, mengisahkan kisah yang sama. Mereka ditahan di kantor polisi tanpa mendapatkan akses kesehatan walaupun mereka mengeluh sakit.
“Saya sudah keluhkan tetapi masih ditahan di kantor polisi. Polisi antar karena teman-teman yang mau antara sehingga mereka kawal sampai ke rumah sakit,” ungkapnya di hadapan Puras.
Rekannya, aktivis KNPB dari Manokwari, mengisahkan kisah yang sama. Mereka ditahan di kantor polisi tanpa mendapatkan akses kesehatan walaupun mereka mengeluh sakit.
Puras balik bertanya, mengapa mereka ditahan? Aktivis KNPB menceritakan mereka ditahan hanya karena demo damai mendukung United Liberation Movement for West Papua 9ULMWP) menjadi anggota penuh Melanesia Spearhead Group (MSG).
Kekerasan yang terjadi di rumah sakit juga dilaporkan kepada pelapor khusus ini. Kasus Edison Matuan yang tewas di Rumah Sakit Wamena setelah disiksa polisi sekalipun sedang dalam perawatan petugas rumah sakit disampaikan dalam pertemuan ini.
Angka kematian OAP
Aktivis kemanusian, Imael Silak, dari Yahukimo menceritakan kematian 73 orang di Yahukimo. Silak mengatakan kematian itu terjadi dalam dua bulan saja.
“Februari 2015, 25 orang meninggal. Desember 2015, 23 orang meninggal. Jan 2016, 25 orang tewas,” tegasnya memaparkan data kematian orang di rumah sakit umum Dekai Yahukimo.
Silak datang bersama Imanuel Warita satu penderita kaki gaja mewakili 37 penderita di Koroway. Waritas menceritakan tidak ada satu pun tenaga medis yang melayani mereka.
“Yah begini saya. Saya sakit,” ungkapnya singkat sambil menunjukan kakinya yang terinfeksi virus filariasis.
“Februari 2015, 25 orang meninggal. Desember 2015, 23 orang meninggal. Jan 2016, 25 orang tewas,” tegasnya memaparkan data kematian orang di rumah sakit umum Dekai Yahukimo.
Silak datang bersama Imanuel Warita satu penderita kaki gaja mewakili 37 penderita di Koroway. Waritas menceritakan tidak ada satu pun tenaga medis yang melayani mereka.
“Yah begini saya. Saya sakit,” ungkapnya singkat sambil menunjukan kakinya yang terinfeksi virus filariasis.
Seorang akademisi yang hadir dalampertemuan itu mengatakan rasio kematian orang Papua dari waktu ke waktu sangat tinggi. Ia mengatakan rasio kematian ini hasil penelitian dalam studi doktoralnya.
“Setiap 12 jam satu orang Papua mati,” ungkap pia yang mengaku petugas kesehatan dari kabupaten Sarmi ini.
Ia juga menjelaskan salah satu hambatan dalam pelayanan kesehatan di Papua sehingga menyebabkan angka kematian yang tinggi adalah praktek korupsi dalam penggunaan anggaran kesehatan.
Ia juga menjelaskan salah satu hambatan dalam pelayanan kesehatan di Papua sehingga menyebabkan angka kematian yang tinggi adalah praktek korupsi dalam penggunaan anggaran kesehatan.
“Anggarannya memang untuk Papua. Tapi korupsinya mulai dari Jakarta. Kami harus sediakan “uang kecil” untuk dapat “uang besar” dari Jakarta,” ungkapnya menjelaskan praktek korupsi yang terjadi.
Kekerasan terhadap perempuan dan hak reproduksi
Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, Theresje Julianty Gasperz, (Yanti) pengacara dari Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menyebutkan angka kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi. Tingginya angka kekerasan ini salah satunya disebabkan oleh adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam adat di Papua.
“Pintu masuk kekerasan terhadap perempuan paling banyak disebabkan oleh alcohol dan pihak ketiga (perselingkuhan),” ungkap Yanti di hadapan Puras.
Selain itu, seorang bidan dari Yahukimo mengungkapkan pembatasan hak reproduksi juga menjadi pintu masuk kekerasan terhadap perempuan. Disampaikan oleh bidan ini, praktek program Keluarga Berencana (KB) yang tidak informatif menyebabkan banyak perempuan di Yahukimo mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
“Perempuan di Yahukimo yang ikut KB suntik itu kan harusnya setiap tiga bulan dalam setahun. Tapi karena informasi dari petugas kesehatan yang tidak jelas, mereka suntik terus setiap tahun hingga tidak bisa melahirkan. Akibatnya suami mereka marah dan melakukan kekerasan,” ungkap bidan ini.
Kasus KLB Mbua masih terlantar
Dalam pertemuan ini, Ronny Elopere, orang tua dari dua anak yang meninggal dalam kasuskematian 54 anak di Mbua, kabupaten Nguga. Ia menceritakan kronologis kematian dua anaknya kepada Puras. Ia mengatakan sampai saat ini belum ada tindakan medis yang signifikan untuk mengangani Kejadian Luar Biasa (KLB) Mbua itu.
“Kalau situasi tidak ditangani, 10 tahun ke depan. Orang Nduga akan habis. Hari ini saja, saya mendapat kabar ada lagi tiga anak yang meninggal di Mbua dengan kasus yang sama,” katanya khawatir sambil meneteskan air mata.
“Kalau situasi tidak ditangani, 10 tahun ke depan. Orang Nduga akan habis. Hari ini saja, saya mendapat kabar ada lagi tiga anak yang meninggal di Mbua dengan kasus yang sama,” katanya khawatir sambil meneteskan air mata.
Seorang mantri di distrik Mbua kepada Puras mengatakan ia telah bekerja sebagai mantri di Mbua selama 30 tahun. Meskipun sudah pensiun, dia tetap menjalankan tugas sebagai mantri karena tidak ada lagi mantri seperti dia di Mbua.
“Tidak ada obat-obatan di Mbua. Kalau ada yang sakit, saya harus ke Wamena untuk ambil obat. Saya pakai uang pribadi untuk transportasi dan beli obat,” ungkap mantri tersebut.
KLB Mbua menjadi perhatian khusus DainiusPuras. Ia mengaku telah menggunakan haknya sebagai pelapor khusus untuk menyurati pemerintah Indonesia terkait kasus kematian anak-anak di Mbua.
“Saya sudah menyurati pemerintah Indonesia tentang hal tersebut. Hari ini saya bertemu keluarga korban virus pertusis yang terjadi di Mbua dan saya tahu belum ada tindakan penanganan virus itu,” kata Puras.
Puras memastikan dalam laporan kunjungannya ke Indonesia ia akan membuat laporan khusus tentang Papua.
Victor Mambor, wartawan Jubi yang mengkoordinir dan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat sipil dengan Pelapor Khusus PBB ini mengatakan ada tujuh masalah yang disampaikan dalam pertemuan tersebut. Tujuh masalah tersebut adalah 1) Fasilitas kesehatan, kesehatan mental (dampak alkohol dan psikoanalisa); 2) Keterlibatan aparat keamanan di fasilitas kesehatan; 3) Kesehatan ibu dan anak, kekerasan terhadap perempuan dan hak seksual dan reproduksi; 4) Angka kematian Orang Asli Papua; 5. Kebijakan kesehatan; 6. Diskriminasi terhadap ODHA; 7. KLB Mbua.
Puras menurut Mambor ingin berkunjung di Papua selama dua hari agar bisa melihat secara langsung fasilitas kesehatan di Papua. Namun ia hanya diberikan waktu 28 jam oleh pemerintah Indonesia yang mengundangnya.
“Masyarakat sipil juga menyampaikan laporan tertulis mengenai akses kesehatan di Papua, kesaksian korban dalam bentuk tertulis dan rekaman video,” kata Mambor.(*)
Posting Komentar